KEKERASAN DIDALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Setiap warga negara harus terbabas dari kekerasan, baik kekerasan yang terjadi dilingkungan sekolah, lingkungan masyarakat maupun dilingkungan keluarga. Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.
Merujuk data Survei Pengalaman Hidup Perempuan (SPHPN) 2021 yang dirilis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kekerasan pada perempuan di Indonesia mengalamitren penurunan. Proporsi perempuan umur 15-64 tahun yang mengalami kekerasan (fisik, seksual, atau emosional) oleh pasangan/mantan pasangan dalam 12 bulan terakhir turun dari 10,6 persen pada 2016 menjadi 6,6 persen pada 2021. Fakta ini sepintas menggembirakan,tetapi jika mengacu hasil Sensus Penduduk 2020, jumlah perempuan pada rentang usia itu 92.453.700 jiwa. Artinya, berdasarkan SPHPN 2021, dalam setahun jumlah perempuan yang menjadi korban kekerasan masih sangat besar, 6.101.944 orang. (lihat artikel kompas 15 Mei 2024)
Korban kekerasan dalam rumah tangga cenderung banyak dialami oleh perempuan atau istri, walaupun pernah juga ada beberapa kasus kekerasan rumah tangga yang korbannya laki-laki atau suami, namun prosentasenya lebih sedikit dibandingkan dengan korban perempuan.
Berdasarkan data OECD (2023), 20,2 persen perempuan Indonesia masih setuju jika suami/pasangan melakukan kekerasan kepada istri/pasangan pada keadaan tertentu(lihat artikel kompas 15 Mei 2024). Jika melihat data ini sepertinya agak aneh, kenapa ada perempuan atau istri yang masih menyetujui adanya kekerasan terhadap dirinya, tentu ada alasan mengapa hal ini terjadi. Diduga terdapat berbagai faktor risiko yang mempengaruhi perempuan menjadi korban KDRT misalnya adanya ketimpangan kekuasaan gender, norma budaya yang merendahkan perempuan, ketidakseimbangan ekonomi, dan kelemahan hukum yang membatasi perlindungan perempuan.
Diterbitkannya Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, diaharapkan menjadi benteng hukum untuk meminimalisir kekerasan yang terjadi didalam rumah tangga. Kekerasan didalam rumah tangga masuk dalam ranah hukum pidana dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara jika kekerasan tersebut mengakibatkan korban meninggal dunia.
Didalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 dijelasakan bentuk kekerasan rumah tangga seperti kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan seksual meliputi :
- Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
- Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
- Masalah Kesehatan Mental: Gangguan mental seperti gangguan emosi atau psikologis dapat meningkatkan risiko seseorang menjadi pelaku atau korban KDRT.
- Riwayat Kekerasan: Individu yang pernah menjadi korban kekerasan atau tumbuh dalam lingkungan yang penuh kekerasan cenderung lebih rentan terhadap KDRT.
- Kurangnya Keterampilan Komunikasi dan Penyelesaian Konflik: Individu yang memiliki kesulitan dalam mengelola emosi dan menyelesaikan konflik secara sehat mungkin lebih cenderung menggunakan kekerasan sebagai cara untuk mengekspresikan diri atau menyelesaikan masalah.
B. Faktor Hubungan.
- Konflik dan Ketegangan Hubungan: Konflik yang berkepanjangan atau ketegangan dalam hubungan, seperti masalah keuangan, perselisihan, atau perbedaan nilai, dapat meningkatkan risiko terjadinya KDRT.
- Kurangnya Keterlibatan Positif: Kurangnya interaksi positif, dukungan, atau komunikasi yang sehat antara pasangan dapat menyebabkan frustrasi dan kemarahan yang berujung pada kekerasan.
C. Faktor Lingkungan Sosial dan Budaya.
- Norma Budaya yang Mendukung Kekerasan: Lingkungan yang membenarkan atau memperkuat perilaku kekerasan dapat mempengaruhi persepsi dan tindakan individu terhadap KDRT.
- Stigma terhadap Perceraian atau Penceraian: Beban sosial atau tekanan budaya untuk mempertahankan hubungan yang tidak sehat dapat meningkatkan risiko terjadinya KDRT.
D. Faktor Struktural dan Ekonomi.
- Ketimpangan Kekuasaan: Struktur kekuasaan yang tidak seimbang dalam hubungan, di mana satu pihak memiliki kontrol atau dominasi atas yang lain, dapat menjadi faktor risiko terjadinya KDRT.
- Ketergantungan Ekonomi: Ketergantungan finansial pada pasangan atau keluarga dapat membatasi opsi dan mempersulit untuk meninggalkan hubungan yang berbahaya.
E. Faktor Psikologis dan Emosional.
- Masalah Pengendalian Diri: Individu yang sulit mengontrol emosi atau memiliki masalah dengan impulsivitas dapat menjadi lebih rentan terhadap tindakan kekerasan.
- Perasaan Rendah Diri atau Inferioritas: Kurangnya harga diri atau perasaan tidak berdaya dapat menyebabkan individu mencari cara untuk mendapatkan rasa kuasa atau kontrol, termasuk melalui kekerasan.
Penting untuk diingat bahwa KDRT adalah perilaku yang tidak dapat dibenarkan dan tidak pernah menjadi tanggung jawab korban. Penyebab KDRT sangat kompleks dan mungkin berbeda untuk setiap situasi atau individu. Upaya pencegahan KDRT melibatkan pengenalan faktor risiko, pendidikan publik, intervensi yang sesuai, dukungan korban, dan perubahan budaya untuk mempromosikan hubungan yang sehat dan menghormati antara pasangan dan anggota keluarga. Berikut ini hal yang bisa diusulkan untuk meminimalisir munculnya kekkerasan di dalam rumah tangga:
A. Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat.
- Memberikan pendidikan dan kesadaran kepada masyarakat tentang KDRT, termasuk tanda-tanda, konsekuensi, dan cara mengatasi masalah ini.
- Mengedukasi tentang hubungan sehat, komunikasi yang efektif, dan resolusi konflik yang non-kekerasan.
B. Penguatan Hukum dan Penegakan Hukum
- Meningkatkan penerapan hukum yang melindungi korban KDRT dan menghukum pelaku.
- Memastikan akses korban untuk mendapatkan bantuan hukum dan perlindungan melalui proses hukum yang adil.
C. Pelayanan Dukungan untuk Korban.
- Menyediakan layanan dukungan terpadu bagi korban KDRT, termasuk tempat perlindungan, konseling psikologis, layanan medis, dan bantuan sosial.
- Membangun jaringan dukungan komunitas yang melibatkan lembaga-lembaga kesehatan, pemerintah, LSM, dan masyarakat sipil.
D. Intervensi pada Tahap Dini.
- Mendeteksi dan intervensi pada tahap dini melalui layanan sosial dan kesehatan, seperti pemeriksaan rutin dan program pendidikan kesehatan mental.
- Melibatkan keluarga dan masyarakat dalam mendeteksi gejala KDRT dan mendorong laporan terhadap kasus yang dicurigai.
E. Pendidikan Kesehatan dan Keterampilan Hubungan.
- Meningkatkan pendidikan kesehatan dan keterampilan hubungan yang sehat sejak dini, termasuk pendidikan gender yang mempromosikan kesetaraan dan menghormati.
- Mengajarkan keterampilan komunikasi yang efektif dan penyelesaian konflik yang non-kekerasan.
F. Penghapusan Faktor Risiko Struktural.
- Mengurangi ketimpangan kekuasaan, termasuk melalui inisiatif ekonomi yang mempromosikan kemandirian ekonomi bagi wanita.
- Mengatasi norma budaya yang membenarkan atau memperkuat KDRT melalui kampanye dan advokasi untuk perubahan perilaku dan sikap.
G. Keterlibatan Pria dan Pengarusutamaan Gender.
- Melibatkan pria sebagai sekutu dalam mengatasi KDRT dan mempromosikan konsep pengarusutamaan gender.
- Mendorong peran positif pria dalam memerangi kekerasan dan mempromosikan keseimbangan kekuasaan dalam hubungan.
Pencegahan KDRT memerlukan upaya kolaboratif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga kesehatan, LSM, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Perubahan yang signifikan dalam mengatasi KDRT memerlukan komitmen jangka panjang untuk mengubah norma budaya, meningkatkan akses terhadap layanan, dan mempromosikan kesetaraan gender serta kesejahteraan keluarga.